sumber gbr : galihgumelar.wordpress.com |
Mendengar suara yang sudah sedemikian dikenalnya, Maula bergegas menuju kedepan rumahnya untuk menyambut sang guru, “Alaikumusalam warahmatullahi wabarakatuh….., Aki, silahkan masuk ki….” Jawab Maula sambil menyalami gurunya dan mempersilahkannya masuk.
Setelah beberapa saat duduk, kedua orang murid dan guru itu berbincang santai, “Nak Mas sedang tidak sibuk..? maaf kalau kedatangan Aki mengganggu Nak Mas…..”Kata Ki Bijak.
“Sama sekali tidak Ki, tadi ana baru selesai mandiin Ade, biasa ki, susah bener kalau disuruh mandi, sama uminya tidak mau, maunya sama ana, jadilah basah seperti ini…..” Kata Maula.
Ki Bijak tersenyum mendengar penuturan Maula, “Namanya juga anak kecil Nak Mas, memang selalu begitu., tapi ngomong-ngomong pernah Nak Mas tanya Ade kenapa kalau disuruh mandi susah….?” Tanya Ki Bijak kemudian.
“Iya ki.., ada saja alasannya, nonton kartun dulu lah, mau main dulu lah, dan banyak sekali alas an yang diutarakan Ade kalau disuruh mandi….” Kata Maula.
Ki Bijak lagi-lagi tersenyum mendengar penjelasan Maula mengenai alas an anaknya yang suka susah kalau disuruh mandi;
“Bukankah kita, para orang tua juga masih suka seperti itu Nak Mas…? Pancing Ki Bijak.
“Kita masih seperti anak-anak ki…?” Tanya Maula heran.
Ki Bijak mengangguk, “Coba Nak Mas perhatikan, kitapun hampir selalu punya alas an menunda untuk melaksanakan perintah Allah…, “
“Ketika kumandang adzan berkumandang memanggil kita untuk segera berangkat kemasjid, sebagian kita biasanya punya seribu satu alas an untuk tidak shalat berjamaah dimasjid, kita kadang beralasan masih capek karena baru datang dari kantor, sehingga kita tidak kemasjid, kita juga kadang alas an hujan, kita bisa beralasan panasnya sangat terik, kita pun kadang beralasan kekenyangan karena baru saja makan, dan masih banyak lagi alas an yang dengan mudah kita lontarkan sebagai dalih untuk tidak melaksanakan perintah Allah, bukankah ini sama seperti alas an Ade yang enggan mandi Nak Mas….?” Tanya Ki Bijak.
Muka Maula sedikit memerah, karena ia pun masih suka berdalih seperti itu, “Iya ki…..” jawabnya pendek.
“Bahkan ketika kemarin ada pertandingan bola, masjid sepi, yang shalat jamaah maghrib dan isya hanya beberapa orang saja, hampir semua mata dan perhatian tertuju pada pertandingan bola, alasannya demi nasionalisme, alasannya demi kecintaan pada timnas, alasannya shalat dirumah juga sama saja, belum lagi yang nonton langsung kestadion, entah bagaimana mereka melaksanakan shalat Ashar, Magrib dan Isya_nya, semua alas an itu sama persis dengan alas an Ade, alas an anak kecil, hanya bahasa yang digunakannya saja yang berbeda Nak Mas….” Kata Ki Bijak.
Maula terdiam, tiba-tiba ia merasa bersalah karena suka memarahi anaknya yang suka susah disuruh mandi, sementara ia sendiri masih sering ‘susah’ kalau disuruh Allah untuk beribadah;
“Iya ki…, ternyata orang dewasa pun masih memiliki sifat kekanak-kanakan ya ki……”Kata Maula.
“Ya Nak Mas, kadang dengan bangga kita mengklaim bahwa diri kita ini orang tua, diri kita ini orang dewasa, tapi pada kenyataannya, masih banyak sifat-sifat kita yang menyerupai anak kecil…”
“Seperti ketika kita diperintah mengeluarkan sedekah, kita itung-itungan dulu untung ruginya, apa imbalannya bagi kita, persis seperti anak kecil yang ketika disuruh ibunya, menanyakan dulu apakah ada permen yang akan ia dapat kalau ia melaksanakan perintah ibunya….”
“Kalau kita diperintah tahajud, kalaupun kita melaksanakannya, setelah kita membaca berbagai fadilah yang ditawarkannya, bukan semata ikhlas lillahi’atala, bukankah inipun sama seperti anak kecil yang selalu diiming-imingi hadiah agar mau belajar atau membantu ibunya….”
“Atau kalaupun kita melaksanakan perintah Allah, lebih banyak permintaan kita daripada ibadahnya, shalat dhuhanya hanya dua rakaat, itupun dengan terburu-buru dan tidak istiqomah, tapi permintaan yang kita mohonkan kepada Allah, hampir selembar halaman kertas folio, bukankah inipun seperti anak kecil yang suka merengek-rengek untuk diberi hadiah sebelum ia melaksakan perintah…..”
“Dan masih banyak lagi sifat kita orang dewasa yang masih seperti anak kecil, mau kemasjid, mau sedekah, mau tahajud, mau shaum sunnah, mau shalat dhuha, mau membaca qur’an, mau berkunjung ke ustadz, mau kepengajian karena ia ingin sesuatu atau karena ia takut sesuatu……, bukan ikhlas karena Allah swt……” Kata Ki Bijak panjang lebar.
Maula masih diam, dia merenungi apa yang dikatakan gurunya, seolah-olah kata-kata sang guru ditujukan khusus untuk dirinya, meski perkataan Ki Bijak adalah contoh-contoh umum yang lazim terjadi sekarang ini.
“Kenapa orang dewasa masih bersifat seperti itu ya ki, kenapa orang dewasa selalu punya alas an untuk menunda atau bahkan meninggalkan perintah Allah…..?” Tanya Maula.
“Menurut Nak Mas, apa alas an Ade yang membuat Ade tidak mau mandi..?” Ki Bijak bertanya balik.
Maula diam sejenak mendengar pertanyaan gurunya, “Mungkin karena Ade tidak tahu bahwa mandi itu adalah kebutuhannya agar ia bersih dan sehat ki…, Ade masih merasa bahwa mandi itu dingin dan menjadi beban…..” Kata Maula.
“Dan jawaban pertanyaan Nak Mas tadi juga sama Nak Mas, mungkin sebagian orang yang mengaku sudah tua dan dewasa itu tidak tahu bahwa shalat itu adalah kebutuhannya, bahwa shalat itu adalah sarana untuk membersihkan dirinya dari dosa, bahwa shalat itu adalah sarana komunikasi kita dengan Allah yang paling efektif….”
“Mungkin juga orang yang mengaku tua dan dewasa itu juga tidak tahu bahwa zakat itu akan membersihkan harta dan dirinya, bahwa zakat itu akan menjadi ‘tameng’ bagi dirinya dari mara bahaya…”
“Mungkin juga orang yang mengaku tua dan dewasa itu tidak tahu kalau shaum, kalau pergi haji, kalau menyantuni anak yatim & fakir miskin, membaca dan belajar al qur’an , berjihad dijalan Allah itu adalah ‘kebutuhan hidupnya’ sehingga sebagian kita masih enggan dan berat untuk melaksanakannya…, persis seperti anak kecil yang belum tahu fungsi mandi sebagai kebutuhannya untuk hidup bersih dan sehat…..” Kata Ki Bijak lagi.
“Jadi diperlukan ‘kedewasaan hati’ untuk dapat memahami perintah Allah sebagai sebuah kebutuhan kita ya ki, sehingga kita tidak lagi menganggapnya sebagai beban yang memberatkan kita….” Kata Maula.
“Ya Nak Mas, pun dengan Ade, setelah besar nanti, insya Allah cucu Aki yang pinter ini, tidak perlu lagi disuruh atau ditakut-takuti untuk mandi dan melaksanakan perintanh agamanya, karena Ade akan tahu bahwa mandi dan syari’at agama adalah kebutuhan yang harus dipenuhinya…..”Kata Ki Bijak.
“Insya Allah ki……, De…, sini, ada Aki nih pengen kangen sama Dede….” Kata Maula, memanggil putranya yang baru selesai berpakaian.
Segera saja anak yang lucu itu datang dan langsung sungkem menyalami Ki Bijak;
“Ngger…, jadi anak shaleh ya Ngger….., jangan lupa ngajinya, jangan lupa shalatnya, ingatkan lagu yang Abi ajarkan pada Dede….?” Tanya Ki Bijak sambil membelai kepala cucu kesayangannya itu.
“Iya ki, Ade bisa nyanyi lagu yang Abi ajarkan pada Dede…..’ Katanya dengan logat yang masih cadel.
“Coba Aki pengen dengar lagunya…..” Bujuk Ki Bijak.
Bocah kecil yang polos itu menyanyikan lagu gubahan ayahnya, yang biasa dinyanyikan untuk meninabobokannya setiap malam;
Ade…., ade tayang,
Ade tayang jangan nakal
Cepat…, cepat besal,
cepat besal jadi pintal…
Jadilah anak yang taat
dan banyak beramal…
Jangan lupa zakat
dan jangan tinggal sembahyang…
Agar kelak Ade jadi anak yang belguna
Bagi papa mama dan juga bagi agama
Agal kelak Ade jadi anak yang belguna
Bagi nusa bangsa dan juga bagi negala….
“Waah…, bagus sekali Ade sudah pintar menyanyi….” Kata Ki Bijak sambil bertepuk tangan.
Maula hanya tersenyum melihat tingkah polah putranya yang lucu;
“Nak Mas, sebentar lagi maghrib, Aki permisi dulu, nanti sekalian bawa Ade kemasjid, untuk melatihnya agar kelak dia menjadi ahli masjid seperti Nak Mas….” Kata Ki Bijak sambil pamitan.
Maula menyalami gurunya dan kemudian mengantarkan sampai gerbang;
“Assalamu’alaikum……” Kata Ki Bijak.
“Alaikumusalam……”Jawab Maula.
0 jejak sahabat:
Posting Komentar