Maula tengah duduk dibale bambu, didepan pondokan gurunya, ketika sang guru datang dan mengucapakn salam, hingga membuyarkan lamunannya,
“Assalamu’alaikum…, Maaf Nak Mas, Aki tadi sedang tadarus…..” Kata Ki Bijak sambil menjelaskan kenapa ia agak lama menemui Maula.
“Waalaikumusalam warahmatullahi wabarakatuh….., Aki……, tidak apa-apa ki, lagi pula ana belum lama datang…..” Jawab Maula sambil bergegas bangun menyalami gurunya.
Setelah kedua orang guru dan murid itu sama-sama duduk dibale bambu, mereka terlibat percakapan yang nampak mengasyikan;
“Nak Mas…, Nak Mas sepertinya ingin menyampaikan sesuatu…?” Tanya Ki Bijak, demi melihat Maula yang tampak sedang memperhatikan sesuatu.
“Eeghh…, iya Ki…..”Kata Maula agak ragu.
“Mengenai apa Nak Mas….?” Tanya Ki Bijak dengan suara lembut.
“Ki…., bale bambu ini, berada ditempati ini, sejak ana pertama kali bertemu Aki, atau bahkan mungkin jauh sebelum ana datang kepondok Aki ini……” Kata Maula berhati-hati.
“Ya Nak Mas…..” Ki Bijak masih menunggu penuturan selanjutnya dari Maula.
“Lalu meja ini pun, masih seperti dulu, rak buku ini, alas dan juga yang lainnya sama sekali belum ganti…, Aki tidak ingin menggantinya Ki…..?” Tanya Maula.
Ki Bijak tersenyum mendengar penuturan Maula; “Nak Mas, Aki sudah sangat senang memiliki bale bambu, meja dan perabotan seperti sekarang ini Nak Mas, lagi pula bale bambu dan perabotan ini adalah kenang-kenangan dan saksi setiap kali Aki dan Nak Mas berdiskusi dan berbagi dalam berbagai hal, jadi Aki tidak punya alas an untuk menggantinya…..” Kata Ki Bijak.
“Ki…, mohon maaf sebelumnya, bagaimana kalau ana yang mengganti perabotan ini dengan yang baru….?” Tanya Maula, masih dengan nada penuh kehati-hatian.
Ki Bijak kembali tersenyum mendengar tawaran Maula, “Aki mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian dan keinginan Nak Mas untuk memperbaharui perabotan Aki ini, tapi Aki tidak mau merepotkan Nak Mas…., Nak Mas masih memiliki banyak keperluan dan kebutuhan yang harus Nak Mas penuhi…..” Kata Ki Bijak lagi.
“Ki…., ana datang ketempat Aki ini, sejak ana belum bekerja, belum mempunyai penghasilan, dan sekarang, Alhamdulillah, ana sudah kerja, ana sudah memiliki penghasilan yang lumayan, dan ana fikir ana bisa membelikan Aki perabotan yang baru ki…..” Kata Maula.
Lagi-lagi Ki Bijak tersenyum, “Belum saatnya Nak Mas…, belum saatnya Nak Mas membantu Aki secara materi, Aki sudah merasa cukup dengan yang ada sekarang, lagi pula, Aki jauh ‘lebih kaya’ dari Nak Mas….” Kata Ki Bijak sedikit bergurau dengan mengatakan bahwa dirinya lebih kaya dari Maula, muridnya.
“Ki….,mohon maaf sebelumnya…, ana sekarang sudah punya motor, punya rumah, punya penghasilan, dan memiliki tabungan yang lumayan, meski pun tidak bisa dibilang kaya, tapi ana fikir secara materi ana ‘sedikit’ lebih baik dari Aki….” Kata Maula, menanggapi ketidak mengertiannya, bagaimana mungkin gurunya bisa mengatakan bahwa Ki Bijak ‘lebih kaya’ darinya.
Dengan nada penuh kebijaksanaan, sang guru menjawab dengan arif; “Nak Mas…, benar materi dan penghasilnan Nak Mas sekarang lebih banyak dari Aki, tapi orang ‘kaya’ bukanlah orang yang miliki materi dan penghasilan lebih banyak Nak Mas, orang kaya adalah orang yang kebutuhannya lebih sedikit dari penghasilannya…….., itulah kenapa Aki mengatakan Aki lebih kaya dari Nak Mas…..” Kata Ki Bijak.
Maula terdiam sejenak mendengar pitutur gurunya; “orang ‘kaya’ bukanlah orang yang miliki materi dan penghasilan lebih banyak Nak Mas, orang kaya adalah orang yang kebutuhannya lebih sedikit dari penghasilannya ki…..?” Tanya Maula beberapa saat kemudian.
Ki Bijak mengangguk, “Nak Mas, Aki sangat senang dan bersyukur Nak Mas memiliki penghasilan yang lumayan, tapi kebutuhan Nak Mas sekarang ini masih sangat banyak, Nak Mas harus membiayai sekolah putra-putri Nak Mas, Nak Mas harus membantu adik-adik Nak Mas, Nak Mas juga masih memiliki banyak cita-cita dan keinginan yang belum Nak Mas capai, seperti kemarin Nak Mas katakan pada Aki, Nak Mas ingin memiliki mobil, Nak Mas ingin melanjutkan kuliah, Nak Mas ingin pergi ketanah suci, dan masih banyak lagi kebutuhan yang harus Nak Mas penuhi, sehingga penghasilan Nak Mas yang ‘lumayan’ itu belum cukup untuk menutupi semua kebutuhan Nak Mas, karena kebutuhan Nak Mas lebih banyak dari penghasilan yang Nak Mas perolah sekarang ini…..”
“Sementara Aki…., Aki tidak mempunyai penghasilan tetap, dan kalaupun dapat, pendapatan Aki pasti jauh lebih kecil dari yang Nak Mas dapat…., tapi dengan pendapatan seperti itu, Aki sudah tidak membutuhkan apa-apa lagi, Aki tidak punya keinginan untuk beli mobil, Aki tidak ingin mengganti perabotan ini, Aki juga tidak ingin pergi tamasya, Aki juga sudah sangat bersyukur bisa makan dengan lauk pauk yang Aki dapat dari kebun dan kolam Aki….., sehingga pendapatan Aki yang ‘kecil’, cukup untuk menutupi semua kebutuhan Aki, karenanya Aki katakan tadi, Aki ‘lebih kaya’ dari Nak Mas, karena kebutuhan Aki lebih kecil dari pendapatan Aki…., Nak Mas mengerti maksud Aki….?” Kata Ki Bijak lagi.
Maula terdiam merenungi setiap untai kata gurunya; ia membenarkan apa yang baru saja dikatakan Ki Bijak, bahwa meskipun penghasilannya saat ini tergolong lumayan, tapi kebutuhannya juga masih sedemikian banyak, ingin punya mobil, ingin bisa tamasya, ingin makan enak, ingin pakaian bagus, ingin kuliah lagi, ingin punya rumah lagi, ingin menyekolahkan anaknya, dan masih banyak keinginan yang ia miliki saat ini…..
“Jadi ana masih ‘miskin’ ya ki…..?” Katanya kemudian.
“Nak Mas akan segera menjadi orang ‘kaya’, begitu Nak Mas bisa menata keinginan-keinginan Nak Mas itu agar sesuai dengan penghasilan Nak Mas sekarang, insya Allah, jika keinginan-keinginan Nak Mas ditata, disesuaikan dan tidak didasari oleh nafsu dan ambisi yang berlebih, Nak Mas akan menjadi orang yang jauh lebih kaya dari Aki……” kata Ki Bijak menghibur.
“Menata keinginan ya ki…?” Tanya Maula.
“Ya Nak Mas, misalnya kalau Nak Mas ingin pergi ke tanah suci, ya itu saja dulu yang Nak Mas utamakan, sementara keinginan untuk membeli mobil, punya rumah baru dan lainnya, Nak Mas tempatkan para urutan berikutnya, insya Allah Nak Mas akan jauh lebih kaya dan lebih bahagia dari sekarang….” Kata Ki Bijak lagi.
Maula menghela nafas panjang, ia membenarkan apa yang barusan diutarakan gurunya,bahwa sekarang ini ia agak ‘terbebani’ dengan banyaknya keinginan yang ingin ia capai sekaligus……., ”Terima kasih Ki….., sekarang ana menjadi lebih ‘nyaman’ dengan apa yang Aki nasehatkan tadi, memang benar, ana kadang terlalu ambius dalam mengejar keinginan ana……..” Katanya kemudian.
“Keinginan juga sebenarnya bagus Nak Mas, selama kita bisa me-manage-nya dengan baik, keinginan bisa menjadi penggerak dan penambah semangat kita dalam bekerja, hanya Aki ingatkan sekali lagi bahwa jangan sampai keinginan-keinginan itu membelenggu kita untuk bisa hidup bahagia dan menjadi orang yang merdeka dari perbudakan oleh keinginan-keinginan kita yang tidak terkendali……” Kata Ki Bijak lagi.
“Iya ki… , terima kasih…..” Kata Maula, sambil kembali mempehatikan bale bambu dna meja yang ternyata merupaka ‘kekayaan dan harta’ gurunya yang tidak ternilai harganya, sebuah bale bambu yang menjadi symbol rasa syukur dan kebijaksanaan gurunya dalam memaknai hakekat kekayaan…………., bahwa orang kaya bukanlah orang yang memiliki materi lebih banyak, bahwa orang kaya adalah orang yang mampu mensyukuri setiap nikmat yang ia terima, bahwa orang kaya adalah orang yang kebutuhannya lebih kecil dari pendapatannya……..
0 jejak sahabat:
Posting Komentar