sbr gbr : taufiqsuryo.wordpress.com |
“Waktu adalah kehidupan Nak Mas……” Jawab Ki Bijak ketika berbincang mengenai urgensi waktu bagi seorang muslim.
“Waktu adalah kehidupan Ki…..?” Tanya Maula.
“Benar Nak Mas, waktu adalah kehidupan, dalam ungkapan bahasa arab, dikenal dengan ungkapan Al-Waqtu Huwa al-Hayâh, hal ini mengantar kita pada sebuah pemikiran bahwa barang siapa yang menyia-nyiakan waktunya, membiarkan waktunya berlalu begitu saja, itu sama artinya orang tersebut telah menyia-nyiakan masa kehidupannya……” Kata Ki Bijak menjelaskan
Maula masih diam, menyimak penuturan gurunya.
“Seperti kita diskusikan beberapa waktu lalu, bahwa umur kita akan mencair laksana es batu, dipakai atau tidak, umur akan berkurang dan akhirnya habis, maka merugilah mereka yang membiarkan waktu atau kehidupannya menguap tanpa arti apa-apa…….” Papar Ki Bijak lagi.
“Seperti yang Allah terangkan dalam surat Al ‘Ashr ya ki…., bahwa sesunguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian……..” Kata Maula pendek.
“Benar Nak Mas, seperti itu, bahwa manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, dan saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran…..” Lanjut Ki Bijak melengkapi.
“Iya ki, lalu bagaimana seharusnya menggunakan waktu kita ki….?” Tanya Maula.
“Kuncinya satu Nak Mas, kita harus adil dalam menggunakan waktu kita…..” Jawab Ki Bijak.
“Kita harus adil dalam menggunakan waktu ki…?” Tanya Maula.
“Iya Nak Mas, dari 24 jam sehari semalam waktu yang Allah amanahkan kepada kita, kita harus berusaha untuk menggunakannya secara adil dan bijaksana, baik itu untukAllah dan urusan ukhrowi kita, maupun juga untuk urusan pribadi dan kepentingan duniawi kita……” Jelas Ki Bijak lagi.
Maula masih diam menunggu penjelasan lanjutan penuturan gurunya.
“Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang bersumber dari salah seorang sahabat yang bernama Hanzholah Al Usaiydi ra, dia adalah seorang juru tulis Rasulullah Saw……..” Kata Ki Bijak mengutip sebuah hadits.
“Bagaimana isi hadits tersebut ki…?” Tanya Maula.
“Haditsnya cukup panjang Nak Mas, hanya hal yang menarik dari hadits ini adalah jawaban Hanzholah ketika ia ditanya oleh Abu Bakar bagaimana keadaanya; ia menjawab bahwa ia ‘munafik’, mendengar jawaban ‘aneh’ ini Abu Bakar sangat terkejut, karena Abu Bakar tahu betul siapa itu Hanzhollah…….” Kata Ki Bijak.
“Ana juga heran ki, mana mungkin seorang yang sedemikian dekat dengan Rasul mengatakan bahwa dirinya munafik…?” Kata Maulana.
“Nak Mas tahu kenapa Hanzholah mengatakan dirinya munafik…?” Tanya Ki Bijak lagi.
Maula menggelengkan kepalanya, ia tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Hanzholah dalam hadits tersebut.
“Hanzollah mengatakan bahwa ketika ia bersama-sama Rasulullah Saw yang senantiasa mengingatkannya tentang Allah, tentang surga dan neraka, maka seolah-olah dia benar-benar merasakan dan seolah bisa melihta surga dan neraka yang digambarkan oleh Rasul, tapi sekeluar dari majlis Rasul, kemudian berkumpul dengan anak, istri, serta disibukan dengan dengan hal-hal lainnya, disibukan dengan pekerjaan, maka kita ‘lupa’ dengan banyak hal, kita lupa pada Allah, kita lupa pada keindahan dan kenikmatan surga yang abadi, kita lupa dengan pedihnya sika neraka yang sangat dahsyat, itu yang membuat Hanzholah mengatakan dirinya ‘munafik’……” Kata Ki Bijak lagi.
Deghhhhh, muka Maula memerah, mewakili perasaan hatinya yang bergolak, menyadari keadaan seperti itu, yang masih sering ia rasakan, ia sering merasakan demikian dekat dengan Allah manakala ia berada dengan para ustadz yang selalu mengingatkannya, ia merasa demikian takut dengan neraka manakala didalam majlis yang membahasnya, atau ia merasakan demikian rindu dengan surga manakala keindahannya disampaikan oleh para mubaligh, tapi setelah itu, setelah keluar dari majelis, atau setelah ia tidak berada dekat dengan ustadz seperti saat ini, ia masih dengan mudah ‘melupakan’ ketiga hal pokok yang mestinya menjadi bagian dalam setiap hembusan nafasnya, adakah ia termasuk orang munafik…naudzubillah….
“Nak Mas, Akipun masih suka ‘lupa’ seperti halnya Hanzholah, karenanya kita harus selalu berusaha untuk mendekat pada orang-orang alim, para ustadz dan kyai untuk senantiasa mendapat ‘penyegaran’ bahwa hidup kita tidaklah semata didunia ini, bahwa hidup kita bukan sekedar mengejar materi, hidup kita bukan sekedar mengumpulkan uang, hidup kita tidaklah semata kerjaan dan kerjaan, tapi ada hal yang jauh lebih penting yang harus kita usahakan, yaitu kehidupan abadi dialam akhirat kelak…..” Kata Ki Bijak, seperti membaca isi hati Maula yang gundah.
“Iya ki……” Jawab Maula pendek.
“Sesibuk apapun kita, sepadat apapun jadwal kita, sebutuh apapun kita pada materi, jangan sampai urusan keduniaan kita ini memalingkan kita dari mengingat Allah, jangan sampai kebituhan kita terhadap materi, menutup mata kita dari halal haram dalam mendapatkannya…”,
“Dan ingat.., mengingat Allah bukan hanya ketika shalat, mengingat Allah bukan hanya ketika duduk dzikir, mengingat Allah bukan hanya pada saat kita berada dimajelis-majelis ilmu, mengingat Allah, harus kita lakukan setiap saat, setiap waktu, disetiap hembusan nafas kita, baik ketika kita duduk, ketika kita berbaring, ketika kita berjalan, seyogyanya kita harus senantiasa ‘bersama Allah’………………” Kata Ki Bijak.
“Iya ki, ana bersyukur bisa sering ketemu Aki, jadi ana bisa selalu mendapatkan nasehat dan penyegaran ketika ana khilaf, pun ditempat kerja, ana juga senang, karena ada seorang teman yang selalu mengingatkan ana, ‘jangan dunia melulu’, karena memang ada urusan yang jauh lebih penting dari sekedar dunia ya ki……” Kata Maula.
“Syukur Alhamdulillah Nak Mas, karena memang kewajiban setiap kitalah untuk saling mengingatkan dan berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran……” Pungkas Ki Bijak mengakhiri percakapan hari itu.
“Iya ki…………….” Maula mengulurkan tangganya untuk pamitan.
0 jejak sahabat:
Posting Komentar